Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif
Konsep Dasar Teori Belajar Kognitif
Teori ini muncul sebagai wujud
dari ketidakpuasan terhadap teori belajar behavioristik. Karena menurut
psikolog kognitif, tingkah laku manusia yang tampak dari luar tidak bisa diukur
dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, yaitu motivasi, kesengajaan,
keyakinan, insight, dan sebagainya.
Belajar dalam perspektif
psikolog kognitif pada dasarnya adalah proses internal atau peristiwa mental
bukan peristiwa behavioral (yang
bersifat jasmaniah) sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sedangkan
perubahan yang terjadi dalam kemampuan seseorang dalam bertingkah laku dan
berbuat sesuatu dalam situasi tertentu, hanyalah suatu refleksi dari perubahan
internal. Jadi tingkah laku individu itu muncul karena adanya dorongan dari dalam
dirinya, bukan karena kebiasaan atau latihan. Kalaupun tingkah laku tersebut
merupakan hasil dari latihan, maka hal tersebut juga bergantung pada mental
individu tersebut, apakah mau melakukannya ataukah tidak.
Sumadi Suryabrata memberikan ciri-ciri teori
belajar kognitifistik, yaitu:
a)
Lebih
mementingkan keseluruhan daripada bagian-bagian,
b)
Mementingkan
kognisi terutama insight,
c)
Mementingkan
dynamic aquilibrium, dan
Adapun tokoh-tokoh penemu teori ini adalah Mex
Wertheimer, Kurt Koffka, Wolfgang Kohler, Kurt Lewin, Jean Piaget, Jerome
Bruner dan David Ausubel.
2) Model-Model Teori Belajar Kognitif
a) Teori
Gestalt
Psikologi kognitif mulai
berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar dari teori gestalt
ini adalah Mex Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Kemudian diikuti oleh
Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan tentang hukum-hukum pengamatan dan
selanjutnya diikuti pula oleh Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang
insight dalam simpanse,
sebagaimana dalam gambar 2.4. sebagai berikut:
Gambar 2.4. Seekor simpanse yang memecahkan masalah
dengan insight
Sumber: Rita L.
Atkinson, Pengantar Psikologi Jilid 1,
terj., Nurdjannah Taufiq dan Rukmini Barhana (Jakarta: Erlangga, 1997), hlm. 326.
Pada percobaan di atas, Kohler
menemukan tumbuhnya insight pada
simpanse, yaitu dengan menggunakan galah yang cukup panjang untuk mencapai
seiris buah. Simpanse ini telah belajar memecahkan masalahnya dengan memahami
hubungan antara galah dan irisan buah.
Kaum Gestaltis berpendapat
bahwa pengalaman itu terbentuk dalam suatu keseluruhan. Artinya, orang yang
belajar itu mengamati secara keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam
bagian-bagian yang terpisah. Dan tingkat kejelasan atau keberartian dari apa
yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang
daripada dengan hukuman dan ganjaran.
Teori belajar ini memunculkan hukum
belajar yang pokok, yaitu: Hukum Pragnanz.
Hukum ini menunjukkan tentang berarahnya segala kejadian kepada keseimbangan. Akibatnya,
dikatakan keadaan yang problematis adalah keadaan yang tidak pragnanz, tidak beraturan dan tidak
seimbang. Oleh karena itu, pemecahan problem tersebut adalah dengan mengadakan
perubahan dalam struktur medan atau membawanya kepada hal yang bersifat pragnanz.
Dan inti belajar dalam teori ini adalah mampu memecahkan problem dan mengerti
duduk persoalannya, bukan mengulang-ulang hal yang harus dipelajari, akan
tetapi memahaminya dan mendapatkan insight.
b) Pemrosesan Informasi
Belajar menurut teori ini merupakan perilaku
mental, maka diperlukan “Pemrosesan Informasi”. Menurut teori kognitif, manusia
adalah pemroses informasi yang aktif. Artinya ia memprakarsai
pengalaman-pengalaman yang mengarah kepada belajar. Yaitu dengan mencari informasi-informasi
untuk memecahkan persoalan dan menyusunnya kembali apa-apa yang telah
diketahuinya. Pemrosesan itu
meliputi:
(1)
Mengumpulkan
informasi dan membuatnya menjadi kode-kode (encoding).
(2)
Menyimpan
informasi (retention).
c) Cognitive-field
Berawal dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan teori
belajar Cognitive-field. Lewin
memandang masing-masing individu berada dalam satu medan kekuatan yang bersifat
psikologis yang disebut dengan life space.
Ia berpendapat bahwa, tingkah laku adalah hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan,
baik dari dalam diri individu maupun dari luar individu, seperti tantangan dan
permasalahan. Menurutnya belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan
dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan hasil dua macam
kekuatan, yaitu: 1) dari struktur medan kognisi itu sendiri, dan 2) dari kebutuhan
dan motivasi internal individu. Dalam hal ini, menurut Lewin peranan motivasi
lebih penting daripada pemberian reward.
d) Cognitive-Developmental
Jean Piaget, penemu teori “cognitive-developmental” mengemukakan bahwa struktur intelektual yang
terbentuk dalam individu merupakan akibat interaksinya dengan lingkungan,
dalam hal ini ia memakai istilah “scheme”,
yaitu suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara
intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Adapun aktifitas intelektual adalah asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
proses kognitif seseorang dengan cara mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Akomodasi adalah membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan baru
atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Sedangkan pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinyu
dari adanya equilibrium-disequilibrium.
e) Discovery
Learning
Jerome Bruner menyusul dengan teorinya Discovery Learning (belajar penemuan),
yaitu pencarian pengetahuan secara aktif oleh individu dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang paling baik. Individu berusaha sendiri untuk mencari
pemecahan masalah serta menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Menurut Bruner, inti dari belajar adalah cara bagaimana orang memilih,
mempertahankan dan mentransformasi informasi secara aktif.
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada
dua asumsi. Pertama, perolehan
pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Bruner yakin bahwa individu yang
belajar adalah yang berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif. Dan
perubahan itu tidak hanya terjadi di lingkungan saja, tetapi juga di dalam individu
itu sendiri. Kedua, individu
mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan
informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya.
f)
Meaningful Learning
Pakar kognitif lain adalah David Ausubel
dengan teorinya “meaningful learning”
(belajar bermakna). Menurut Ausubel, Novak, dan Hanesian, ada dua jenis
belajar, yaitu belajar bermakna (meaningful
learning), dan belajar menghafal (rote
learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi
baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki individu yang
sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan
fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dalam proses itu individu dapat mengembangkan skema yang ada atau mengubahnya.
Dalam proses belajar ini, individu mengkonstruksi apa yang dipelajarinya
sendiri.
Tiga teori terakhir; cognitive-field, discovery
learning, dan meaningful learning
bisa dikategorikan sebagai teori belajar konstruktivisme. Karena ketiganya
mempunyai kesamaan dalam hal pembentukan pengertian baru sendiri yang dihubungkan
dengan pengertian yang sudah ada sebelumnya. Belajar menurut kaum konstruktivis
adalah proses aktif pelajar mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis
dan sebagainya. Belajar juga diartikan sebagai proses mengasimilasikan dan
menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dimiliki individu, sehingga pengertiannya berkembang. Menurut teori ini,
proses tersebut bercirikan: (a) Belajar berarti membentuk makna, konstruksi
arti ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki; (b) Konstruksi arti
itu berlangsung terus-menerus, dan setiap kali bertemu fenomena baru, maka
diadakan konstruksi; (c) Belajar bukanlah mengumpulkan fakta, melainkan
pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru; (d) Situasi
ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
Kesimpulan dari teori belajar kognitif, ada beberapa model teori ini, yaitu
teori gestalt sebagai teori yang pertama, memandang bahwa belajar itu dengan
mengamati secara keseluruhan, bukan bagian-bagian. Inti dari belajar adalah
individu mampu menyelesaikan masalah dengan mengembalikan semuanya kepada
keadaaan pragnanz. Teori pemrosesan
informasi, memandang perubahan tingkah laku manusia melalui pemecahan persoalan dengan cara mencari
informasi kemudian memberi kode (encoding)
dan menyusunnya (retention) serta
mengingat kembali apa-apa yang telah diketahuinya. Hal ini berlandaskan pada asumsi bahwa manusia adalah pemroses informasi
yang aktif. Pandangan ini agak berbeda dengan Lewin yang memandang bahwa
tingkah laku adalah hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan, baik dari dalam
diri individu maupun dari luar individu. Sedangkan Piaget, dengan teori cognitive development yang memandang
bahwa intelektual itu terbentuk dari interaksi dengan lingkungannya. Bruner
mendefiniskan belajar sebagai proses pencarian dan penemuan sehingga individu
mendapatkan pengetahuan yang bermakna dan mampu memecahkan masalahnya sendiri. Hal
ini sejalan dengan dengan teori belajar bermakna miliknya Ausubel. Tiga
pendapat terakhir bisa dikategorikan sebagai teori belajar konstruktivisme.
halaman selanjutnya