Perempuan, Korupsi dan Politik

Ketika politisi perempuanterlibat praktek korupsi,seketika orang ramai-ramai menghujat dan menggeneralisasi bahwa politisi perempuan tak ada bedanya dengan laki-laki. Di headline sebuah berita harian ibu kota tahun lalu, tanpa tedeng aling-aling perempuan disebut bagaikan "ratu korupsi". Pintu demokrasi pun dibuat seakan tertutup untuk kaum hawa.
Definisi keterlibatan perempuan dalam korupsi juga disempitkan dengan istilah "feminisasi korupsi". Entah dari lautan mana istilah ini muncul. Lalu ada pula yang mengaitkan keterlibatan perempuan dalam korupsi ini dengan prolog kejatuhan manusia dalam dosa di mana Hawa menjadi dalang lahirnya kemurkaan Allah terhadap manusia.
Ya, di zaman sekarang khususnya di republik ini, rakyat mencibir dan murka terhadap segala praktek buruk pejabat dan politisi perempuan. Bagaimana mungkin, korupsi yang jahat dan lahir dari hasrat pongah itu menjadi pilihan seorang perempuan yang selalu berlindung dalam kebajikan sosial dan adat ketimuran. Bagaimana mungkin pula sosok lembut yang memiliki rahim kehidupan itu harus melakukan praktek yang menciderai nilai kemanusiaannya sendiri.
Dan di tengah-tengah pertanyaan-pertanyaan keras di atas, menyelinap sebuah ketidaksadaran lainnya tentang politik yang mestinya dipahami bahwa uang, kekuasaan dan wanita adalah trikotomi sosial yang menyatu dalam watak dan hasrat utama politik, setidaknya untuk konteks Indonesia. Bahwa jaring laba-laba korupsi selalu tak pernah mengenal kelamin untuk menjerat siapa saja yang ada dalam ranjang kenikmatan kekuasaan.
Mahluk Ekonomi
Etika, kesantunan, sensitifitas serta moralitas yang intrisik dalam kepribadian perempuan selaku padanan cerdas prinsip demokrasi bukanlah sesuatu yang taken for granted dalam relasi politik-kuasa perempuan. Semua itu membutuhkan ruang kebebasan dan aktualisasi diri yang berakar pada demokrasi kesetaraan yang ditunjang oleh kemampuan mendefinisikan peran setiap aktor-aktor yang bermain dalam panggung sosial.
Memang, idiom kekuasaan dengan segala perangkapnya menyajikan sebuah cara pandang bahwa –meminjam konsep Adam Smith- makhluk politik adalah makhluk ekonomi yang berusaha memaksimalkan kepentingan di jalan-jalan yang disediakan bagi kekuasaan. Namun, potensi penyalahgunaan kekuasaan sejatinya bisa diminimalisir ketika sistem, budaya dan struktur yang meliputinya mampu dikendalikan oleh prinsip kepemimpinan yang kuat dan pro-ideologis yang juga dilahirkan dari relasi sosial yang setara, non-diskriminatif dan berbasis pada kemanusiaan.
Namun atas itu, bukan berarti kita juga bersikap permisif saat tahu bahwa Miranda Gultom, Nunun Nurbaeti, Malinda Dee, Angelina "Angie" Sondakh dan mantan Direktur Keuangan Group Permai, Mindo Rosalina Manullang, atau yang teranyar Siti Hartati Murdaya terlibat dalam skandal korupsi. Sesadar-sadarnya, tak ada ruang dalam batin kita untuk menerima sebuah perilaku amoral yang telah menyayat hak-hak rakyat banyak di negeri yang katanya ber-Tuhan dan beridentitaskan Pancasila ini.
Hanya saja, proses pengadilan persepsi oleh media massa, publik, yang kadang melampaui renungan obyektifisme dan latar belakang korupsi di sebuah konteks politik tertentu sering membuat kita gagal menemukan akar persoalan dan mencoba menyusun strategi baru yang lebih empiris dan rasional untuk sepenuhnya keluar dari jerat patologis yang ada. Akibatnya perempuan hanya dilihat sebagai obyek dari realitas kekuasaan korup tanpa pernah memeriksa secara jernih bekerjanya variable-variabel lain yang mengendalikan seseorang berbuat korupsi.
Hal itu sudah terlihat pada ketiadaan komitmen dan kesungguhan partai politik mengakomodir calon anggota legislatif (caleg) perempuan yang memenuhi standar quota 30 persen. Dalam lalu lintas pemilu, wacana ini dikalahkan oleh perdebatan latar belakang keartisan, politisi kutu loncat atau caleg dari keluarga pejabat yang dinilai menyalahi etika. Dari sudut profesi keartisan misalnya, partai politik lebih melihat atribut material yang melekat dari balik sosok perempuan tersebut, tanpa melihat dan menimbang-nimbang bobot dan kualitasnya.
Padahal perempuan dan politik dalam konteks sosial dan demokrasi di Indonesia masih mewarisi pola patronitas yang mereduksi alam bawah sadar perempuan untuk keluar dari jerat ancaman psikologis saat ia menggenggam kekuasaan. Dalam kasus korupsi yang melibatkan nama-nama di atas, mereka cenderung dijadikan alat dan korban dari kompensasi politik-ekonomi yang disutradari oleh kelompok oligarki yang mewabah di berbagai cabang kekuasaan baik di partai politik, DPR maupun di birokrasi. Sulit untuk mengelak jika hasrat kekuasaan tak sepenuhnya bisa dijernihkan oleh politik akal sehat yang mewajibkan ketegasan dan keberanian seseorang memutuskan sikap untuk memilih untuk melakukan kebenaran.
Terjebak
Apa yang terlihat dalam fenomena anyar saat ini yakni perempuan dalam wajah politik sepertinya telah dikomodifikasi sebagai bagian dari kalkulasi dan peruntungan jalan menuju kekuasaan dengan sejumlah pesona hsiteria-materialnya yang melekat di tubuhnya. Dan tanpa disadari, perempuan telah terjebak dalam kooptasi bayangan patriarkal politik di mana penentu keputusannya adalah laki-laki. Laki-laki menjadi pihak yang menghegemoni subyek ideologis yang selama ini dikenakan kepada perempuan.
Aquarini Priyatna P dalam bukunya Kajian Budaya Feminis (2006), perempuan tidak saja menjadi obyek dari komoditifikasi sensualitas lewat maraknya iklan-iklan komersial yang menonjolkan konstruk tubuhnya, namun juga telah dimanfaatkan sebagai salah satu mekanisme industry politik untuk memanipulasi dan menyamarkan cara-cara kerja yang menyimpang.
Maka darinya, sulit menafikan, bahwa proses demokrasi di Indonesia yang oleh banyak kalangan sudah berada di taraf kematangan akan terus berproses menjadi spirit keutamaan yang mampu menyalurkan benih peradaban yang adil dan setara di mana setiap komponen warga memperoleh ruang untuk membangun posisi tawar dalam mendefinisikan segala kebutuhan,citra diri termasuk ruang dan waktunya.
Karena itu diperlukan sebuah mainstream politik baru melampaui formalitas perspektif gender untuk membuka wacana keterlibatan perempuan dalam diskursus politik-kekuasaan yang terkesan a-simetris seperti sekarang ini. Dan ini harus dimulai dari elite-elite pengendali kebijakan di partai hingga pemerintahan untuk melakukan otokritik sekaligus membuka ruang dan kesempatan yang luas bagi perempuan dalam berinteraksi dan mendefinisikan kehadirannya di semua ranah kehidupan.
Mulai dari akses pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi perempuan hinga pembentukan persepsi yang adil dari pemerintah atas peran dan kepentingan perempuan untuk menghilangkan stigma negatif terhadapnya selama ini.
Dalam berbagai studi gender yang dilakukan di Universitas Maryland (1999), Bank Dunia (1999), Transparency International (TI) Kenya (2001), Universitas Queensland, dan Ricol, Lasterie & Associatés (2007) secara impresif menunjukkan bahwa potensi perempuan untuk membayar suap lebih jarang dibanding pihak laki-laki. Malah dikatakan korupsi dapat diminimalisasi seandainya perempuan lebih banyak terwakili di parlemen (Anie Soetjito, 2012).
Semoga momentum hari Kartini ini menyadarkan kita bahwa keseriusan membangun politik gender yang konstruktif sangat terbuka pada saat sekarang dengan melibatkan perempuan secara maksimal dalam pengkaderan kepemimpinan di setiap partai politik yang ada. Perekrutan caleg perempuan yang dipaksakan karena pertimbangan popularitas harus dihentikan karena akan meruntuhkan cara pandang politik publik yang obyektif terhadap perempuan. Kesadaran politik perempuan hanya bisa lahir dari sebuah proses latihan kepemimpinan yang bertahap dan bukan lewat rekayasa politik yang instan atau musiman.

Popular posts from this blog

Cara Mengatasi E31 Canon MP258

Cara Mengukur Trimpot

Persamaan Transistor Amplifier