Sejarah Penulisan Tafsir Al – Misbah
Al-Qur’an Al-Karim kitab suci yang oleh Rasul saw,
dinyatakan sebagai Ma’dubillah ( Hidangan Ilahi ) hidangan ini membantu manusia
untuk memperdalam pemahaman dan
penghayatan tentang Islam dan merupakan pelita bagi ummat Islam dalam
menghadapi berbagai persoalan hidup.
Kitab
suci ini memperkenalkan dirinya sebagai Hudan Linnas ( petunjuk bagi
seluruh ummat manusia), sekaligus menantang manusia dan jin untuk menyusun
semacam Al-Qur'an. Dari sini kitab suci
Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat, yakni bukti kebenaran dan sekaligus
kebenaran itu sendiri.
Lima
belas abad yang lalu ayat-ayat Allah itu diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad
saw. Tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah
memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu serta berani dan yang luas
getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad saw, yakni
Al-Qur’an, demikian orientalis Gibb berkomentar.
Bahasanya
yang demikian mempesona, redaksinya yang demikian teliti dan mutiara pesan-pesannya
yang demikian agung, telah mengantar kalbu
masyarakat yang ditemuinya berdecak kagum, walaupun nalar sebagian
mereka menolaknya. Nah terhadap yang menolak itu Al-Qur’an tampil sebagai
mukjizat sedang fungsinya sebagai Hudan di tujukan kepada seluruh ummat
manusia, namun yang memfungsikannya dengan baik hanyalah orang-orang yang
bertakwa : Alif lam mim, itulah (Al-Qur’an) kitab yang sempurna, tiada
keraguan di dalamnya. Dia adalah petunjuk untuk orang- orang bertakwa , (
Al-Baqaorah 2 : 1 –2 ).
Masyarakat
Islam dewasa ini pun mengagumi Al-Qur’an. Tetapi sebagian kita berhenti dalam
pesona bacaan ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini hanya diturunkan
untuk dibaca. Memang wahyu pertama memerintahkan membaca Iqra’ BismiRabbika,
bahkan kata Iqra’ diulangi dua kali, tetapi ia juga mengandung makna
telitilah, dalamilah, karena dengan penelitian dan pendalaman itu manusia dapat
meraih kebahagian sebanyak mungkin. “ kitab yang telah kami turunkan
kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat – ayatnya dan agar Ulul Albab
mengingat menarik pelajaran darinya “( shad, 38 : 29 ).
Bacaan
hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan Al-Qur’an pemahaman dan
penghayatan yang disertai dengan Tadzakkur dan Tadabbur. Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak
menggunakan akal dan kalbunya untuk
terkunci hatinya, apakah mereka tidak memikirkan AL-Qur’an, atau hati mereka
terkunci ? ( Muhammad, 47:20).Ummat
Nabi Musa dan Isa as, pun
mendapat petunjuk melalui kitab suci, tetapi, “ diantara mereka ada yang Ummiyun,
tidak mengetahui Al – Kitab kecuali Amani,” Begitu kecaman Allah yang
diabadikan dalam Al-Baqorah, 2:78.
Ibnu
Abbas menafsirkan kata “ ummiyun “ dalam arti tidak mengetahui makna
pesan-pesan kitab suci, walau boleh jadi mereka mengahafalnya. Mereka hanya
berangan-angan atau amani dalam istilah ayat di atas, yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan sekedar
membacanya, itulah yang diibaratkan Al-Qur’an seperti keledai yang memikul
buku-buku ( Al-Jumu’ah, 62:5). Atau seperti pengembala yang memanggil
binatang yang tak mendengar selain panggilan dan seruan saja.mereka tuli, bisu,dan
buta (maka sebab itu) mereka tidak mengerti (Al-Baqorah, 2:171).
Al-Qur’an
menjelaskan bahwa dihari kemudian nanti Rasulullah saw akan mengadu kepada
Allah swt, beliau berkata “ wahai Tuhanku sesungguhnya kaumku atau ummatku
telah menjadikan Al- Qur’an ini sebagai sesuatu yang mahjura “ (Al-Furqon, 25:30).
Menurut
Ibnu Al-Qayyim banyak hal yang di cangkup oleh kata ( mahjura ) antara lain :
1.
Tidak tekun mendengarnya
2.
Tidak mengindahkan halal dan haramnya walau dipercaya
dan dibaca.
3.
Tidak menjadikannya rujukan dalam menetapkan hukum
menyangkut ushuluddin ( prinsip – prinsip ajaran agama ) dan rinciannya.
4.
Tidak berupaya memikirkan dan memahami apa yang
dikehendaki oleh Allah yang menurunkannya.
5.
Tidak menjadikannya sebagai bagi semua penyakit –
penyakit kejiwaan.
Semua yang disebut di atas
tercangkup dalam pengaduan Nabi Muhammad saw.tentu saja kita ingin termasuk
dalam kelompok yang diadukan Rasul itu. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa
banyak orang yang tidak memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar. Kendati
demikian, kita harus mengakui bahwa tidak mudah diatasi, seperti keterbatasan
buku rujukan yang sesuai : yakni sesuai dari segi cakapan informasi, yang jelas
dan cukup, tetapi tidak berkepanjangan. Adalah kewajiban para ulama untuk
memperkenalkan Al-Qur’an dan menyuguhkan pesan-pesannya sesuai dengan kebutuhan
dan harapan itu.