Wayang Dalam Nilai Estetika dan Etika
Wayang Dalam Nilai Estetika dan Etika
Seperti yang telah kita ketahui bahwa wayang selain
sebagai tontonan juga fifungsikan sebagai tuntunan, sebab dalam pewayangan
banyak sekali terdapat tuntunan yang kita dapat. Jadi tidak keliru jika wayang
dijadikan salah satu metode dalam mensosialisasikan ajaran Islam.
Sebagai contoh, rukun Islam yang
berjumlah lima, didalam pewayangan digambarkan pada jiwa tokoh-tokohnya, yang pertama
yaitu kalimat syahadah, atau syahadatain dipersonifikasikan atau dijelmakan
dalam tokoh Punthadewa atau Samiaji sebagai saudara tua (anak sulung) dari
Pandawa, karena kalimat syahadat memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita
wayang, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja (syahadat sebagi rajanya orang
Islam) yang memiliki sikap “berbudi bawa leksana, berbudi luhur dan penuh
kewibawaan”
Kedua, shalat lima waktu
adalah rukun Islam yang kedua, dipersonifikasikan dalam tokoh Pandawa yang nomor dua, Bima atau
Wrekudara. Dalam kisah pewayangan tokoh tersebut dikenal juga dengan penegak
Pandawa. Ia hanya dapat berdiri saja, karena memang ia tidak dapat duduk. Tidur
dan merempun menurut cerita sambil
berdiri pula. Demikian shalat lima waktu selamanya harus tetap
ditegakkan.
Ketiga, zakat sebagai rukun Islam
yang ketiga dipersonifikasikan dengan tokoh
ketiga dari Pandawa yakni Arjuna. Dalam pewayangan ia disebut dengan “lelaning jagad” lelaki pilihan, nama Arjuna diambil dari kata
“Jun” yang berarti jambangan. Benda ini merupakan symbol “Jiwa” yang jernih.
Memang tepat dikatakan demikian, karena Arjuna memiliki ciri-ciri tersebut.
Banyak wanita yang “nandang gandrung kapirangu lan kapilaju” (tergila-gila)
kepadanya, karena kejernihan jiwa Arjuna memancarkan pada wajah dan tubuhnya[1].
Keempat, puasa ramadhan dan haji,
sebagai rukun Islam yang keempat dan kelima, dipersonifikasikan dalam tokoh
kembar Nakula dan Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saay tertentu saja.
Demikian juga dengan puasa ramadhan dan haji tidak setiap hari dilakukan. Hanya
dalam waktu-waktu tertentu.
Dalam pewayangan yang dijadikan etika Jawa dikenal
satu ungkapan yang berbunyi “Sabda
Pandita Ratu”, lan Kena Wola-wali”, secara harfiah artinya adalah
ucapan pandeta (dalam Islam ulama’) dan raja tidak boleh
diulang-ulang”. Maknanya adalah seorang pemimpin haruslah konsekuwen untuk
melaksanakan atau mewujudkan apa yang telah diucapkannya. Dalam khasanah bahasa
Indonesia sebenarnya kitapun
memiliki ungkapan semacam itu
yaitu “satunya kata dan perbuatan”.
Seorang pemimpin secara konsekuwen
selalu bertekat untuk melaksanakan
apa yang telah
diucapkannya, dalam bahasa
Jawa dinyatakan
sebagai
pemimin yang memiliki sifat “ Bawalaksana “. Dalam filsafat Jawa, seorang raja
(pemimpin) harus memiliki sifat bawa laksana disamping sifat baik lainnya, ini tercermin
dalam ucapan dalang
dalam sebuah cerita lakon wayang yang berbunyi : “dening
utamaning nata, berbudi bawalaksana”, sifat utama bagi seorang raja adalah
bermurah hati dan teguh memegang janji[2].
Bagi penonton sajian wayang dianggap
tidak pernah menggurui, akan tetapi lebih banyak mempersilahkan penonton
mencari sendiri arti yang terkandung dalam pertunjukan tersebut.
Sedang wayang dilihat dari estetikanya,
maka pewayangan banyak mengandung
unsure seni yang dipertunjukan, yang sering disebut
dengan “Panca Gatra” diantaranya :
1.
Seni pandalangan
dan seni pentas
2.
Seni karawitan
(seni musik)
3.
Seni kriya (seni
lukis)
4.
Seni Widya
(ajaran atau falsafah)
5.
Seni Ripta
Untuk lebih jelasnya “Panca Gatra”
sebagai dasar bagi hidupnya suatu pagelaran wayang dalam nilai estetika adalah
sebagai berikut :
1) Seni Pendalangan dan Seni Pentas
Pada tahun sembilan belas tujuh
puluhan dalang Nartosabdo membuat gebrakan
yang meyakinkan melalui
kemampuan sangitnya yang
memang luar
biasa, khususnya kreatifitas dalam menciptakan
gendhing-gendhing bru yang cenderung ngetop dan realistis dan keberaniannya
memberikan eksentuasi dan perubahan dalam adegan “Goro-Goro” tersebut berhasil
menjadi model dan bahkan menjadi idola bagi dalang-dalang diberbagi daerah.
Ditangan Manteb,
seni pertunjukan semula
amat kuat dimensi suaranya, sesuatu yang dapat dinikmati sambil
bercakap-cakap ataupun sambil tiduran,
tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang menarik, sesuatu yang
dinikmati dengan mata atau penglihatan atau membutuhkan kosentrasi kesatu
sasaran persepstual tertentu. Didukung oleh sarana tehnologi pencahayaan
elektronika yang canggih yang semakin mudah mengoperasikannya ia berhasil
membangun nuansa warna dan cahaya yang lebih kaya dalam pertunjukannya. Tehnik
sabet yang lain dari yang sudah ada tercipta berkat maju dan semakin
sempurnanya “acting” dalam film laga.
Manteb banyak mengambil ide dari media masa berupa film. Akibanya
boneka mati itu seakan-akan bergerak dengan flesibelitas
tinggi yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Kekuatan
tehnik sabet inilah yang membuat ia dijuluki “dalang setan”[3]
2) Seni Karawitan (seni musik)
Dalam bidang ini, seorang dalang
dituntut bisa “nabuh” gamelan, setidaknya
mengerti dan paham
tentang seluk beluk
karawitan/gendhing-
gendhing.
Ini dimaksudkan untuk lebih mudah bagi dalang untuk mengemudikan suatu
pagelaran.
3) Seni Kriya (seni lukis)
Seni kriya mempunyai pengertian
pengetahuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan cara-cara seperti
bagaimana cara membuat perlengkapan wayang dan pagelarannya.
Seni kriya ini sangat penting bagi pribadi dalang, karena bagaimanapun juga
penguasaan tentang hal ini menjadi tolak ukur kepedulian dia terhadap seni yang
digelutinya. Tidak jarang juga dalang hanya bisa memainkan wayang saja tetapi
tidak bisa membuat wayang itu sendiri. Jika tersebut terjadi maka seorang
dalang kesulitan bahkan tidak mungkin mampu menciptakan kreasi baru.
4) Seni Widya (ajaran falsafah)
Seperti yang telah diuraikan dimuka
wayang mengandung banyak fungsi (multidimensional). Pentas pakeliran dapat
dimanfaatkan dari berbagai bidang, dari bidang psikologi melalui wayang dapat
diajarkan mengenai watak. Dari bidang sosiologi dapat dikaji ajaran moral dan
etika. Dan bidang agama dapat diambil ajaran filsafat yang tinggi. Dengan media
wayang mencakup berbagai jenjang pendidikan menurut tingkat perkembangan
kogniktif dan usia dari tingkat anak-anak hingga dewasa, bahkan yang tua-tua.
Masing-masing kelompok tersebut dapat memanfaatkan pertunjukan wayang sesuai
dengan kebutuhannya.
5) Seni Ripta
Seni ripta adalah ilmu tentang
cara-cara menciptakan sebuah lakon/cerita baru, membuat sangit, membuat gending
kreasi baru dan lain-lain. Dalam hal ini seorang seniman, dituntut untuk maju,
mau menerima perubahan dan terbuka terhadap kritik yang dilontarkan pemerhati
wayang. Kreatifitasnya benar-benar diuji ketika pagelaran wayang mulai
ditinggalkan penciptanya kerena merasa bosan dengan pertunjukan yang ada.
[1] RM.
Ismunandar, Op. Cit, hal. 98-101
[2] Sunarto
Sisworahario memberi arti Bawa laksana sebagai “bisa madeg lan biso ngeksanani
saka ing kawitane pisan”. Yang terjemahan kedalam Bahasa Indonesia adalah “bisa
mandiri dan bisa melaksanakan dari awal , tidak hanya meneruskan karya orang
lain.
[3] Lihat,
Faruk, Kisah Dari Kampung-kampung Halaman, Masyarakt, suku, Agama Resmi dan
Pembangunan, Interfidei, Yogyakarta, 1996, cet I, hal. 256