Pendidikan Kesetaraan Dan Pesan UUD 1945
Pendidikan Kesetaraan Dan Pesan UUD 1945
Pendidikan
nasional memainkan peranan yang sangat penting, khususnya bagi
pembangunan kehidupan intelektual nasional. Amandemen Undang‑Undang
Dasar 1945 dengan tegas mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional.
Pada Pasal 31 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga . negara berhak
mendapatkan pendidikan. Sedangkan pada Pasal 31 Ayat (2) berbunyi bahwa
setiap warga negara. Wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
Amandemen
ini hasil dari pengakuan bahwa pendidikan adalah institusi sosial utama
yang harus didukung oleh institusi sosial lainnya termasuk hukum,
sosial‑budaya, ekonomi, dan politik sebagai suatu kesadaran kolektif.
Pendidikan sepatutnya juga responsif terhadap ketidakseimbangan
struktur populasi penduduk, kesenjangan sosio‑ekonomi., kesenjangan
teknologi, penyesuaian sendiri terhadap nilai‑nilai baru dalam era
globalisasi; dan ini sepatutnya diarahkan kepada pembangunan karakter
nasional.
Pentingnya pendidikan tersebut, lebih lanjut diuraikan dalam UndangUndang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 5 yang berbunyi:
1) Setiap warga negara. Mempunyai hak yang sama untuk memeproleh pendidikan yang bermutu
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus
3) Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4) Warga negara yang memiliki potetisi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus..
5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Untuk
mewujudkan amanah tersebut maka diperlukan sinergi antara pemerintah,
swasta dan masyarakat. Peran masyarakat dalam pendidikan nasional,
kerutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih
dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Iniasiatif aktif
masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting.
Secara
jelas di dalam Pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah
dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses
pembentukan komite sekolah pun belum keseluruhannya dilakukan dengan
proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban
pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga, saat ini
masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk
Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di
dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD
hingga saat ini masih di bawah 20% sebagaimana amanat Pasal 31 Ayat (4)
UUD 1945 dan Pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya
berkisar diantara 2‑5%.
Akibatnya
adalah di berbagai daerah, pendidikan masih berada dalam kondisi
memprihatinkan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, minimnya
fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti
pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada
beberapa wilayah, anak‑anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah
harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin
sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Bila
berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya cenderung
mengekang kreativitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan
pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini
sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas.
Pengekangan kreativitas ini disebabkan pula karena kentalnya paradigma
yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk
pemenuhan kebutuhan industri.
Sistem
pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih
cenderung mengeksploitasi kemampuan akademik. Indikator yang
dipergunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga
nilai rapor maupun ijazah tidak serta merta menunjukkan kompetensi
peserta didik untuk bersaing atau bertahan dalam era industrialisasi dan
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy).
Fakta
lain adalah berkembangnya pendidikan menjadi sebuah industri. Bukan
lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini
mengakibatkan terjadinya praktek jual‑beli gelar. Jual-beli ijazah
hingga jual‑beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis‑bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang
tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah
memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan
hanyalah sebuah mimpi.