Tokoh-Tokoh Wayang
Tokoh-Tokoh Wayang
Mengenai tokoh-tokoh wayang, maka
banyak sekali karakter-karakter (sifat dan tingkah laku) yang terdapat
didalamnya, dan bahkan semua karakter manusia yang ada dimuka bumi hampir semua
telah tergambarkan didalamnya, baik karakter yang baik maupun yang buruk.
Namun dalam hala ini kami hanya
mengambil contoh dari tokoh pewayangan “Punokawan”, sebab disini penulis tidak
mungkin akan membahas semua semua karakter dari tokoh-tokoh pewayangan
tersebut, selain itu juga ada sesuatu hal yang menarik dari filosofi yang terkandung
dalam diri tokoh “Punokawan” tersebut.
Dilihat dari segi bahasa, kata
“Puna” artinya “tahu” (mengetahui) tetapi bukan
sekedar tahu sepintas,
melainkan mengetahui sampai
pada tingkat yang sedalam-dalamnya. Sedangkan kata
“kawan”adalah teman, tetapi juga bukan sekedar teman biasa, melainkan teman
yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas dan lengkap sampai pada
tingkat yang hakkul yakin, atau pengetahuan itu sendiri yang dijadikan sebagai
teman hidupnya. Ini melambangkan bahwa hidup tanpa pengetahuan bagai dammar
tanpa sinar.
Adapun tokoh-tokoh pewayangan
“Punokawan” tersebut adalah :
a) Semar
Dia seorang yang kontraversial.
Bukan seorang penasihat tetapi sering dimintai pendapat. Dianggap lemah tetapi
disaat kritis muncul sebagai penyelamat. Pintar dialing-aling bodoh, gagah
dialing-aling lemah. Padahal dia hanya rakyat biasa hidup didesa bersama
masyarakat golongan bawah. Orang menganggapnya hanya sebagai hamba atau pelayan
pada keluarga terhormat.
Pada hakekatnya semar adalah lambing
dari nafsu mutmainnah. Dan menurut Pandan Guritno SH, MA, semar adalah
lambing dari karsa dan lambang dari
kedaulatan rakyat. Sedangkan pakar ke Islaman mengartikan semar sebagi “
Paku” (Ismar : Arab), maksudnya adalah kebenaran Islam adalah kokoh, kuat
bagaikan kokohnya paku yang tertancap (Simaruddunnya). Dan merupakan
barang-barang pengokohan keseimbangan apa-apa yang goncang.
Bentuk semar yang bulat,
melambangkan kebulatan tekadnya untuk mengabdi kepada kebenaran. Bentuk matanya
yang setengah tertutup, melambangkan dia adalah seorang pemimpi (mempunyai
cita-cita). Matanya dikatakan mrembes (
Selalu mengeluarkan air mata ) dan suaranya
terdengar sedih, bukankah seorang yang
idealis sering menangis kecewa
melihat kenyataan dalam masyarakat ? salah satu tanganya menunjuk, karena ia memang
menunjukan kepada apa yang baik
dan apa yang
seharusnya. Tangan
lainya
menggenggam tertutup, karena hidup itu harus mempunyai pedoman, dan pedoman itu
harus digenggam kuat sebagai tuntunan hidup.
b) Gareng
Para
pakar muslim sepakat bahwa
nala gareng adalah sebuah kata bahasa
Arab yang dijawakan. Adapun nala gareng berasal dari kata “Naala Qoriin”
yang artinya memperoleh kawan banyak.
Sedangkan orang Jawa sendiri memberikan
pengertian sebagai berikut : gareng melambangkan cipta atau pikiran. Hal
ini tersirat dalam namanya, terlukis dalam wujudnya, gerak-gerik dan suaranya.
Matannya yang “Kera” (Juling) mengisyaratkan bahwa ia sedang berfikir.
Lengan-lengannya berliku-liku tidak hanya harus menuju ke satu sasaran, tetapi
harus mempertimbangkan adanya kemungkinan-kemungkinan lain.
Kakinya yang “Genjing” (Pincang)
harus ditapakan dengan hati-hati, melambangkan didalam menjalani kehidupan tidak
boleh gegabah melainkan harus hati-hati, dan harus memikirkan akibat dari
perbuatan tersebut sehingga tidak terjerumus kedalam kenistaan.
Disamping itu dia juga mempunyai
artian nama yang lain diantaranya, nala gareng berarti “hati yang kering” karena dunia pikiran itu kering
(terlepas dari perasaan/emosi), maka didalam berfikir tidak boleh menggunakan
emosi. “Pancal Pamor”artinya tidak boleh menoleh atau lepas dari semua yang
gemerlap. “ Begawat Waja ” putus
giginya yang melambangkan
bahwa ia tidak
dapat
merasakan
makan. Jadi jelas bahwa gareng adalah lambang dari cipta, akal/fikiran.
c) Petruk
Dalam bahasa Arab petruk merupakan
asal dari “Fat-ruk” diartikan dengan “Tinggalkanlah”. Yang artian tersebut
mengarah pada kalimat “Fat-ruk kulluman siwallahi” tinggalkanlah segala apa
selain Allah.
Selain itu Pandan Guritna
mengatakan, bahwa petruk juga mempunyai nama lain diantaranya : Kanthong Bolong
(kantong yang berlobang), suara gendila (berani gila-gilaan), dan Kebo Debleng
(kerbau tolol) melambangkan panca indra. Ukuran badannya paling besar
mengisyaratkan bahwa dalam kenyataan hidup perasaan itu memang yang paling
menonjol, meski seharusnya menjadi adik dari fikiran (adik gareng) dan
dikendalikan oleh kemauan yang baik (anak semar). Gerak-gerik petruk yang
lepas, pandai menyanyi dan menari (keindahan). Hal tersebut melambangkan bahwa
didalam kehidupan panca indra selalu menghendaki yang indah-indah dan yang
enak-enak, namun hal tersebut apabila melampaui batas maka mengarah kearah
gila-gilaan dan boros yang sesuai dengan namannya Sura Gendhila dan Kanthong
Bolong.
d) Bagong
Bagong menurut pakar Islam adalah
berasal dari bahasa Arab yang dijawakan
(sebagaimana nama punakawan yang lainnya) yaitu berasal dari kata
“Baghaa” yang
artinya memberontak terhadap
sesuatu yang batil dan mungkar.
Bagong
tercipta dari bayang-bayang semar. Ia merupakan lambing dari “karya” jika mata
semar setengah tertutup maka mata bagong terbuka lebar, suaranyapun tidak
seperti suara semar, tetapi serak-serak keras. Bukankah
orang yang berkarya itu harus membuka mata lebar-lebar dengan maksud agar
mengetahui keadaan dunia sekitar dan suaranya yang keras melambangkan didalam
berkarya kita harus semangat. Tangan bagong yang depan juga menunjuk diartikan
didalam berkarya kita tidak boleh lupa akan aturan-aturan yang ada sehingga
akan menghasilkan karya-karya yang baik. Sedangkan tangan satunya terbuka
mengisyaratkan didalam berkarya harus terbuka, tidak boleh menghalalkan segala
macam untuk mencapai keinginannya dan juga terbuka menerima saran dan kritik.
Selain tokoh yang hidup (masyarakat)
dalam pewayangan juga di gambarkan tokoh yang menggambarkan alam seperti gunung
kayon, bentuk dari gunung kayon ini berbentuk segi lima dengan salah satu
ujungnya menjulang tinggi keatas, gambar pohon dalam gunungan melambangkan
pohon budi (pengetahuan), dan merupakan bagian yang utama dari kayon dan
diartikan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Pemikir dari golongan Islam
mengatakan bahwa kayon berasal dari kata “Hayyu” yang berarti hidup.
Perlambang-lambang dari gunungan/kayon yang berasal dibesar dibawah dengan
banyak binatang dan tumbuhan (melambangkan hidup manusia yang masih memberatkan
hidup keduniaan/materi).
Alur dan pewayangan terdiri dari
patet nem, pater songo, dan patet manyura. Patet nem (bagian pertama) yang melambangkan
kehidupan manusia pada masa
kanak-kanak sampai remaja, dengan letak gunungan miring kekiri,
ini melambangkan sifar anak manusia yang
masih cenderung mengerjakan hal-hal yang tidak benar. Pathet songo (bagian
kedua) melambangkan sifat dewasa manusia dengan letak gunungan tegak berdiri
ditengah, dengan maksud sifat manusia dewasa yang sama-sama suka berbuat benar
dan salah. Pathet manyura (bagian ketiga) yang melambangkan masa tua manusia
dengan letak gunungan miring
kekanan melambangkan sifat
manusia tua yang semakin suka
berbuat benar.