Pendidikan Kesetaraan Dan Wajib Belajar
Pendidikan Kesetaraan Dan Wajib Belajar
Pendidikan nasional di Indonesia masih menghadapi tiga tantangan besar yang kompleks. Tantangan pertama, sebaga’
akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat
mempertahankan hasil‑hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk
mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja
global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga.
Dapat
mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan
keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu, pendidikan nasional juga
masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol, yaitu: (1)
masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya
kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen
pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu
pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis.
Undang‑Undang
Dasar 1945 (Amandemen Bab XIII Pasal 31) dan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas mengamanahkan
pentingnya pendidikan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia.
Untuk itu, maka permasalahan tersebut perlu diatasi dengan segera guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem penyelenggaraan pendidikan
nasional dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu: formal, nonformal dan
informal.
Pendidikan
jalur formal sudah banyak dipahami oleh masyarakat, dimana sistem
penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara formal seperti yang banyak
terlihat di sekitar kita. Namun pendidikan nonformal dan informal atau
lebih dikenal dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan jalur
pendidikan yang masih banyak belum mendapat pemahaman dan perhatian yang
profesional dari pemerintah maupun masyarakat dalam sistem pembangunan
nasional. Minimnya pemahaman, baik yang berkenaan dengan peraturan
perundangan maupun dukungan anggaran menyebabkan pemerataan pelayanan
PLS bagi masyarakat di berbagai lapisan dan diberbagai daerah belum
dapat dilaksanakan secara optimal.
Pentingnya pendidikan nonformal, maka dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 menyebutkan bahwa:
1) Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau.
Pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.
(2) Pendidikan
nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) kursus
dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pemerintah
telah membentuk Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral
Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional dengan tugas
utama untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pemberian
bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang pendidikan kesetaraan.
Peran
pendidikan kesetaraan sangat strategis dalam rangka memberikan bekal
pengetahuan dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun. Mengingat, warga belajar yang dilayani adalah masyarakat yang
putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, TKI di luar negeri, calon
TKI, masyarakat di daerah‑daerah khusus, seperti daerah perbatasan,
daerah bencana, dan daerah yang terisolir dengan fasilitas pendidikan
belum ada, dan sebagainya, maka pendidikan kesetaraan akan sangat
membantu dalam memperoleh pendidikan.
Warga
belajar yang sangat spesifik demikian, maka kurikulum yang diajarkan
juga berbeda dengan pendidikan formal. Misal, program Paket B (setara
SMP/MTs), pembagian bobot muatan substansi kajian pengetahuan adalah
60%, dan muatan keterampilan hidup adalah 40%. Selain itu, layanan
pendidikan kesetaraan, baik bagi masyarakat pedesaan maupun masyarakat
miskin di perkotaan tetap mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain:
(1) perencanaan integratif, (2) memahami budaya setempat, (3)
penguasaan bahasa, (4) akses kepada pendidikan dasar yang mengacu kepada
keterampilan hidup yang sesuai dengan potensi lokal, budaya, dan
sumberdaya.
Peran
strategis pendidikan kesetaraan Paket B terhadap program wajib belajar
secara nasional mencapai sekitar 3%. Sedangkan jumlah lulusan warga
belajar yang mengikuti program Paket A, Paket B, dan Paket C terus
meningkat. Secara nasional, program Paket C antara tahun 2004-2005
terjadi kenaikan jumlah lulusan sebesar 76,43%. Warga didik yang
mengikuti program Paket A sekitar 59.109 orang pada tahun 2004,
sedangkan tahun 2005 meningkat hampir dua kali lipat yaitu 104.284
orang. Demikian pula halnya dengan program Paket B dan Paket C, terjadi
kenaikan lulusan sebesar 15,93% dan 56,36 % .