Model Perencanaan Pendidikan luar Sekolah
Model Perencanaan Pendidikan luar Sekolah
1. Pengertian Model
Pengertian
model seperti yang dikemukakan oleh Marzuki (1992:63) yaitu sebagai
suatu pola atau aturan tentang sesuatu yang akan dihasilkan. Pengertian
kedua adalah suatu contoh sebagai tiruan dari pada aslinya. Misalnya
model pesawat terbang. Pengertian ketiga adalah seperangkat faktor atau
variabel yang saling berhubungan satu sama lain yang merupakan unsur
yang menggambarkan satu kesatuan sistem.
Apabila
digunakan pengertian pertama maka model perencanaan adalah pola suatu
rencana yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu atau terget
tertentu. Di dalam perencanaan tentu banyak pola yang dipakai sesuai
dengan perkiraan efektivitas untuk mencapai tujuan tertentu.
Apabila
digunakan definisi yang kedua, maka model perencanaan adalah contoh
bentuk perencanaan. Sedangkan apabila digunakan definisi yang ketiga,
maka model perencanaan berarti seperangkat kegiatan yang berhubungan
satu sama lain sebagai suatu kesatuan sistem perencanaan yang ditujukan
untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Pengertian Perencanaan
Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana (2004:57) perencanaan adalah :
”proses sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Disebut
sistematis karena perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut mencangkup proses
pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah,
serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi.”
Waterson (1965) mengemukakan bahwa :
”pada
hakekatnya perencanaan merupakan usaha sadar, terorganisasi, dan terus
menerus dilakukan untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah
alternatif tindakan guna mencapai tujuan. Perencanaan bukan tindakan
tersendiri melainkan suatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang
kompleks.”
Schaffer
(1970) menjelaskan bahwa apabila perencanaan dibicarakan, kegiatan ini
tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut dimulai
dengan perumusan tujuan, kebijakan, dan sasaran secara luas, yang
kemudian berkembang pada tahapan penerapan tujuan dan kebijakan itu
dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk
dilaksanakan.
Yehezkel
Dror dalam A. Faludi (1978) mengemukakan bahwa perencanaan adalah
proses mempersiapkan seperangkat keputusan tentang kegiatan-kegiatan
untuk masa yang akan datang dengan diarahkan pada pencapaian
tujuan-tujuan melalui pengguanaan sarana yang tersedia. Sejalan dengan
prinsip tersebut, Friedman (1973:246) mengemukakan bahwa perencanaan
adalah proses yang menggabungkan pengetahuan dan teknik ilmiah kedalam
kegiatan yang diorganisasi. Suherman (1988) dalam buku Teknik-teknik
Dasar Pembangunan Masyarakat mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu
penentuan urutan tindakan, perkiraan biaya serta penggunaan waktu untuk
suatu kegiatan yang didasarkan atas data dengan memperhatikan prioritas
yang wajar dengan efisien untuk tercapainya tujuan.
Berdasarkan
beberapa pengertian dan prinsip diatas dapat dikemukakan bahwa
keputusan yang diambil dalam perencanaan berkaitan dengan rangkaian
tindakan atau kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan di
masa yang akan datang. Rangkaian tindakan atau kegiatan itu perlu
dilakukan karena dua alasan, pertama, untuk mewujudkan kemajuan atau keberhasilan sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan alasan kedua,
ialah supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, dan kondisi
yang sama atau lebih rendah daripada keadaan pada saat ini.
3. Fungsi dan Karakteristik Perencanaan Pendidikan Non Formal
Perencanaan pendidikan non formal merupakan kegiatan yang berkaitan dengan Pertama,
uapaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang
akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga dengan
mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang
dapat disediakan. Sumber itu meliputi sumber daya manusia dan sumber
daya non manusia. Sumber daya manusia mencangkup pamong belajar,
fasilitator, tutor, warga belajar, pimpinan lembaga, dan masyarakat.
Sumber daya non manusia meliputi fasilitas, alat-alat waktu, biaya, alam
hayati, dan anatu non hayati, sumber daya buatan, dan lingkungan sosial
budaya. Kedua, perencanaan merupakan kegiatan untuk
mengerahkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efisien
adn efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
perencanaan diharapkan dapat dihindari pentimpangan sekecil mungkin
dalam penggunaan sumber-sumber tersebut.
Sesuai
dengan pengertian diatas, maka Sudjana (2004:59) mengemukakan bahwa
perencanaan pendidikan non formal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Perencanaan
merupakan model pengambilan keputusan secara rasional dalam memilih dan
menetapkan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan.
2. Perencanaan
berorientasi pada perubahan dari keadaan masa sekarang kepada suatu
keadaan yang diinginkan dimasa datang sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan yang akan dicapai.
3. perencanaan melibatkan orang-orang ke dalam suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang dinginkan.
4. perencanaan
memberi arah mengenai bagaimana dan kapan tindakan akan diambil serta
siapa pihak yang terlibat dalam tindakan atau kegiatan itu.
5. perencanaan
melibatkan perkiraan tentang semua kegiatan yang akan dilalui atau akan
dilaksanakan. Perkiraan itu meliputi kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan
keberhasilan, sumber-sumber yang digunakan, faktor-faktor pendukung dan
penghambat, serta kemungkinan resiko dari suatu tindakan yang akan
dilakukan.
6. perencanaan
berhubungan dengan penentuan prioritas dan urutan tindakan yang akan
dilakukan. Prioritas ditetapkan berdasarkan urgensi atau kepentingannya,
relevansi dengan kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber
yang tersedia, dan hambatan yang mungkin dihadapi.
7. perencanaan
sebagai titik awal untuk dan arahan terhadap kegiatan pengorganisasian,
penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan.
Secara lebih rinci, Sudjana (1993:42-43) mengemukakan pula bahwa perencanaan memiliki karakteristik sebagai berikut :
”(1)
Merupakan model pengambilan keputusan secara rasional dalam memilih dan
menetapkan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, (2) Berorientasi
pada perubahan dari keadaan masa sekarang kepada suatu keadaan yang
diinginkan pada masa depan, (3) Perencanaan melibatkan orang-orang
kedalam suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang
diinginkan, (4) Memberi arah tentang bagaimana dan kapan tindakan itu,
(5) Melibatkan perkiraan tentang semua kegiatan yang dilalui, (6)
Berhubungan dengan penentuan prioritas dan urutan tindakan yang akan
dilakukan”.
4. Prinsip-prinsip Perencanaan
Prinsip perencanaan Pendidikan luar sekolah yang dikemukakan oleh Sudjana (2004:57) :
” perencanaan
merupakan proses sistematis karena menggunakan prinsip-prinsip
tertentu, prinsip tersebut mencangkup proses pengambilan keputusan,
penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau
kegiatan yang terorganisir”.
Keputusan
yang diambil dalam menetapkan urutan rangkaian tindakan didasarkan pada
alasan: untuk mewujudkan keinginan atau keberhasilan sesuai dengan
kriteria, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, yaitu
keadaan tidak berubah atau mundur, dan menggambarkan bagaimana kegiatan
itu dilaksanakan.
a. Prinsip proses pengambilan keputusan
Schaffer
(1970) menjelaskan bahwa apabila perencanaan dibicarakan, kegiatan ini
tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan yang kompleks. Proses pengambilan keputusan
tersebut dimulai dengan perumusan tujuan, kebijakan, dan sasaran secara
luas, yang kemudian pada tahapan penerapan tujuan dan kebijakan itu
dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk
dilaksanakan.
Sesuai
dengan Yehezkel Dror dalam A. Faludi (1978) mengemukakan bahwa
”perencanaan adalah proses mempersiapkan seperangkat keputusan tentang
kegiatan-kegiatan untuk masa yang akan datang dengan diarahkan pada
pencapaian tujuan-tujuan melalui penggunaan sarana yang tersedia”.
b. Prinsip penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah
Friedman
mengungkapkan bahwa ”perencanaan adalah proses yang menggabungkan
pengetahuan dan teknik ilmiah kedalam kegiatan yang diorganisasi.
Sedangkan Suherman (1988) dalam Sudjana (2004:58) mengungkapkan bahwa
”perencanaan adalah suatu penentuan urutan tindakan, perkiraan biaya
serta penggunaan waktu untuk suatu kegiatan yang didasarkan atas data
dengan memperhatikan prioritas yang wajar dengan efisien untuk
tercapainya tujuan”.
c. Prinsip tindakan atau kegiatan yang terorganisir
Ginan dalam orasi personal (Panazaba – Hari Anti Napza Nasional, 26 Juni 2007) mengungkapkan bahwa :
”setiap
perencanaan akan berjalan dengan baik apabila ada pengaturan tindakan
yang kemudian dilembagakan secara benar, berbentuk sebuah
pengorganisasian atau pengerahan kemampuan”.
Selanjutnya
dalam pengelolaan suatu perencanaan, Komarudin (Sunarto, 2001:67)
menyarankan menggunakan 15 (lima belas) prinsip. Prinsip-prinsip
pengelolaan suatu perencanaan tersebut adalah :
”(1) Principles of comprehensiveness, yaitu perencanaan harus mampu menggambarkan keseluruhan aspek atau komponen dan proses yang akan dilaksanakan, (2) Principles of Complexity,
yaitu perencanaan menggambarkan tingkat kerumitan proses, tingkatan,
urutan dan prasarat yang harus didukung oleh pemilih strategi untuk
mengontrol program, (3) Principles of significance, yaitu memiliki kesesuaian yang tinggi antara komponen, (4) Principles of specificity, yaitu ditandai dengan adanya prioritas tertentu dari keseluruhan tujuan yang akan dicapai, (5) Principles of primacy of dimension, yaitu dilengkapi kriteria keberhasilan, (6) Principles of completeness, yaitu antara komponen yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi, (7) Principles of time, yaitu memiliki ketepatan waktu dalam pelaksanaan, (8) Principles of flexibility, yaitu memiliki peluang untuk mengadakan perubahan, (9) Principles of frequency, yaitu perencanaan yang dilakukan merupakan upaya untuk memecahkan masalah, (10) Principles of formality, yaitu mencangkup frekuensi pertemuan, kapan monitoring dan ebrapa kali evaluasi dilakukan, (11) Principles of authorization, yaitu memberi wewenang tertentu kepada pihak yang terlibat dalam pelatihan, (12) Principles of ease implementation, yaitu memberikan arah tentang langkah-langkah dan mempermudah pelaksanaan kegiatan, (13) Principles of confidential nature, yaitu perencanaan yang dilaksanakan ada yang tidak dapat diketahui oleh semua pihak, (14) Principles of ease of control, yaitu perencanaan harus memiliki fungsi mengontrol semua kegaitan yang harus dilakukan, (15) Principles of relationship of dimension, yaitu memiliki kriteria-kriteria untuk mengukur keberhasilan”.
Prinsip-prinsip
dalam perencanaan tersebut menggambarkan betapa banyaknya aktivitas
perencanaan agar menghasilkan suatu rancangan seacra utuh, menggambarkan
keseluruhan proses, strategi, fasilitas dan berbagai langkah yang harus
dilaksanakan oleh semua sumber daya pelatihan pada konteks sosial yang
tepat dan memiliki kesesuaian tinggi terhadap kondisi saat ini maupun
masa mendatang.
5. Jenis-jenis Perencanaan
Sudjana
(2004:60) mengungkapkan bahwa perencanaan yang diterapkan dalam
pendidikan nonformal dapat diklasifikasi menjadi dua jenis, yaitu
perencanaan alokatif (allocative planning) dan perencanaan Inovatif (innovative planning).
Perencanaan inipun dapat bercorak tingkat lembaga atau lintas sektoral.
Friedman (1972) mengemukakan bahwa dalam perencanaan lintas sektoral
akan terjadi kegiatan saling belajar melalui proses hubungan antar
manusia di antara semua pihak yang terlibat dalam proses penentuan
tujuan organsisasi dan dalam merumuskan rangkaian kegiatan untuk
mencapai tujuan organisasi. Pada umumnya semua yang terlibat dalam
perencanaan memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk melakukan
kegiatan dalam perencanaan. Gambaran umum mengenai kedua jenis
perencanaan itu adalah :
A. Perencanaan Alokatif (Allocative Planning)
Perencanaan Alokatif (Allocative Planning) ditandai dengan upaya penyebaran atau pembagian (alokasi) sumber-sumber yang jumlahnya terbatas kepada kegiatan-kegiatan dan
pihak-pihak yang akan menggunakan sumber-sumber tersebut yang jumlahnya
lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan sumber-sumber yang akan
disebarkan. Upaya penyebaran ini pada umumnya dilakukan secara rasional pada organisasi atau lembaga ditingkat pusat (nasional). Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS)
merupakan salah satu contoh yang sering digunakan dalam tipe
perencanaan alokatif. Penyebaran sumber-sumber yang tersedia dalam PPBS dilakukan secara rasional.
Perencanaan alokatif memiliki tiga ciri utama. Ciri pertama, perencanaan dilakukan secara komprehensip atau menyeluruh. Kedua, adanya keseimbangan atau keserasian anatara komponen-komponen kegiatan.sedangkan ciri ketiga, adanya alasan fungsional untuk melakukan perencanaan.
Perencanaan
Alokatif menurut Friedman (1973) dalam Sudjana (2004:66), dapat
dikategorikan kedalam empat tipe yaitu: perencanaan berdasarkan perintah
(command planning), perencanaan berdasarkan kebijakan (policies planning), perencanaan berdasarkan persekutuan (corporate planning), dan perencanaan berdasarkan kepentingan peserta (participant Planning).
B. Perencanaan Inovatif (Innovative Planning)
Perencanaan
inovatif merupakan proses penyusunan rencana yang menitikberatkan
perluasan fungsi dan wawasan kelembagaan untuk memecahkan permasalahan
kehidupan masyarakat yang menjadi layanan berbagai lembaga. Perencanaan
ini ditandai dengan adanya upaya pengembangan gagasan dan kegiatan baru
dalam memecahkan masalah. Berbagai keahlian teknis dilibatkan secara
terpadu dalam perencanaan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat luas. Proses dalam perencanaan tidak hanya untuk
menghasilkan suatu rencana melainkan juga untuk mewujudkan fungsi
diantara para perencana dari berbagai bidang kegiatan lembaga-lembaga
terkait. Proses inipun berkaitan dengan kesinambungan antara perencanaan
dan pelaksanaan progam dalam upaya pemecahan masalah.
Perencanaan
inovatif sering dirahkan untuk memecahkan permasalahann besar yang
dihadapi masyarakat. Permasalahan itu seperti meningkatnya jumlah
pengangguran, meluasnya kemiskinan, rendahnya pendidikan masyarakat
pedesaan, kesemerawutan daerah kumuh diperkotaan, kegagalan sistem
pendidikan, tingginya angka pertumbuhan penduduk, maraknya kenakalan
remaja, tawuran anak-anak sekolah, Napza, dan menurunkanya kualitas
lingkungan hidup. Permasalahan tersebut perlu dihadapi bersama oleh
lembaga-lembaga terkait dengan menggunakan perencanaan baru, dan bukan
menggunakan perencanaan alokatif sebagaimana telah dikemukakan
terdahulu. Chamberlain (1965) dalam Sudjana (2004:59) menjelaskan bahwa
perencanaan inovatif adalah tipe perencanaan untuk mengahadapi
masalah-masalah besar yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan
perencanaan konvensional, melainkan harus menggunakan suatu pola
perencanaan yang baru.
Sudjana
(2004:84) mengungkapkan perencanaan inovatif memiliki tiga ciri pokok,
yaitu : pembentukan lembaga baru, orientasi pada tindakan atau kegiatan,
dan penggerakkan sumber-sumber yang diperlukan.
1. Ciri Pokok Perencanaan Inovatif
a. Pembentukkan Lembaga Baru
Perencaaan
inovatif pada dasarnya berhubungan dengan penjabaran prinsip-prinsip
umum perencanaan yang telah dilakukan oleh lembaga terkait kedalam
perencanaan yang disusun oleh lembaga baru yang dibentuk atas
kesepakatan lembaga tersebut. Pembentukan lembaga baru tersebut
didasarkan atas kepentingan lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam
menangani permasalahan khusus. Baik secara nasional, daerah maupun
lokal, yang memerlukan pemecahan secara bersama itu menyangkut
pendayangunaan sumber daya (manusia dan non manusia) yang terdapat pada
lembaga masing-masing, pembagian garapan dan tugas tiap lembaga.
Ciri-ciri penting dalam perencanaan inovatif. Pertama,
adanya lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga terkait atau
sektor-sektor. Lembaga baru mempunyai fokus perhatian pada
masalah-masalah yang perlu digarap secara bersama. Kedua, Pemecahan
masalah dilakukan melalui pendekatan secara menyeluruh (komprehensip).
Program-program untuk pemecahan masalah disusun karena alasan-alasan
khusus. Lembaga baru berperan untuk mewakili fungsi-fungsi lembaga yang
membentuknya dalam memberikan pelayanan secara efisien dan efektif
terhadap khalayak sasaran di masyarakat yang membutuhkannya, melalui
berbagai program sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan
sesuai juga dengan potensi yang ada di lembaga-lembaga. Ketiga,
lahirnya lembaga baru tidak dimaksudkan untuk menambah anggaran biaya
lembaga-lembaga yang membentuknya, karena pembiayaan program-program
lembaga baru berasal dari anggaran biaya yang telah ada pada
lembaga-lembaga yang membentuk lembaga baru tersebut.
Keempat,
hasil yang dicapai dalam perencanaan inovatif tidak biasa dinilai
dengan menggunakan analisis sektoral sebagaimana biasa digunakan di
lembaga masing-masing. Keberhasilan perencanaan inovatif dinilai secara
menyeluruh karena merupakan usaha bersama melalui lembaga baru.
Kelima, lembaga baru lebih bersifat pembaharu (reformist).
Lembaga ini dibentuk untuk memperbaharui sistem pelayanan yang telah
ada dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan tidak dapat
dilakukan secara sektoral. Ciri terakhir ini berkaitan dengan
kecenderungan bahwa semakin maju suatu masyarakat, maka makin berkembang
pula spesalisasi. Namun betapapun tajamnya suatu spesialisasi,
masing-masing tidak dapat memecahkan masalah umum dengan tuntas. Oleh
karena itu diperlukan kerjasama lintas sektoral dan antardisiplin. Pada
gilirannya, perencanaan inovatif dapat memperkuat hubungan antar lembaga
dan dapat menumbuhkan sistem pelayanan secara terpadu. Singkatnya,
perencanaan inovatif dilakukan dalam pembentukan lembaga baru yang
dibentuk oleh lembaga-lembaga sektoral yang terkait dengan maksud untuk
memecahkan masalah bersama secara menyeluruh dan untuk meningkatkan mutu
pelayanan secara terpadu kepada masyarakat.
b. Berorientas Pada Kegiatan
Tujuan
yang telah ditetapkan dalam perencanaan lembaga baru serta pelaksanaan
kegiatan untuk mencapai tujuan itu tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Perencanaan inovatif merupakan jawaban kretaif dari
lembaga-lembaga terkait terhadap permasalahan yang muncul dalam situasi
khusus.
Pelaksanaan
program pemecahan masalah secara bersama mungkin akan menimbulkan
dampak yang tidak diperkirakan oleh lembaga baru pada saat perencanaan
sedang dilakukan. Apabila dampak itu muncul pada waktu pelaksanaan
program, maka perencanaan inovatif memberikan kesempatan kepada
perencana untuk setelah mendapatkan masukan dari lapangan, untuk
menentukan tujuan-tujuan antara (intermediate-goals) dalam
upaya mencapai tujuan akhir yang telah ditentukan pada saat perencanaan.
Dalam perencanan inovatif upaya mencari dan memilih alternatif kegiatan
yang efektif untuk mencapai tujuan antara perlu dilakukan melalui
pertimbangan rasional. Adapun upaya secara berkelanjutan untuk melakukan
kegiatan yang efektif itu disebut strategi kegiatan.
Ada
dua strategi kegiatan dalam perencanaan inovatif yang berhasil.
Strategi pertama, sebagai kegiatan dasar adalah pengembangan upaya
lembaga baru untuk membina hubungan yang erat dan berkelanjutan dengan
lembaga-lembaga terkait yang membentuk lembaga baru tersebut. Strategi kedua adalah mekanisme kegiatan yang terfokus pada pencapaian tujuan lembaga baru itu sendiri.
c. Pengerahan Sumber-Sumber
Dalam
perencanaan inovatif, para perencana biasanya bertindak sebagai
wirausahawan yang aktif melalui kegiatan mencari, mengerahkan,
mengorganisasi, dan mendayangunakan sumber-sumber yang tersedia baik di
dalam maupun diluar lembaga-lembaga terkait, termasuk sumber-sumber dari
masyarakat.
Perluasan peranan perencana sebagai wirausahawan itu disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama,
kehadiran lembaga baru, terutama pada tahap awal belum diyakini benar
kehandalannya oleh semua pihak dan belum memperoleh dukungan optimal
dari lembaga-lembaga tersebut. Kedua, perencana melakukan
komunikasi dan negosiasi secara aktif dengan lembaga-lembaga terkait
agar tercapai kesepakatan tentang manfaat dan fungsi lembaga baru bagi
kepentingan misi dan fungsi lembaga masing-masing.
Ketiga,
keberhasilan lembaga baru dapat terwujud apabila lembaga-lembaga
terkait memberi dukungan kuat secara berkelanjutan, menyetujui dan
mengikuti prosedur yang ditetapkan lembaga baru, menerima laporan
terutama tentang penggunaan sumber-sumber, dan merasakan manfaat
langsung dari kehadiran lembaga baru itu untuk membantu fungsi lembaga
masing-masing.