Setelah
sepintas membaca judul tulisan di atas mungkin ada diantara Anda yang
menjadi penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh tentang
Mina Kera. Barangkali yang pertama terbersit dalam benak Anda adalah sederet pertanyaan; Apa
sih Mina Kera itu? Apakah ada hubungan antara
Mina (ikan) dan
Kera? Apa pentingnya mengkaitkan keduanya? Seperti apa konsep
Mina Kera?
Apa kaitannya dengan kolam terpal ? atau bahkan mungkin ada juga yang
sempat bertanya; Apakah judul tersebut tidak salah tulis ?
Jika kemudian Anda mencoba mengaitkan arti harfiah masing-masing kata 'Mina' dan 'Kera'
dan ternyata masih belum mendapatkan gambaran tentang makna
penggabungan kedua kata tersebut maka uraian singkat berikut ini semoga
dapat menjadi jawabannya.
ARTI MINA KERA
Mina atau
mino
(dalam bahasa Jawa) sendiri dapat berarti ikan atau perikanan dan dapat
juga diartikan budidaya perikanan dalam pengertian yang lebih luas.
Kata
mina ini cukup sering digunakan sebagai nama atau bagian
dari nama suatu kelompok budidaya perikanan yang sering dijumpai pada
daerah-daerah dimana terdapat sentra-sentra perikanan. Penggunaan kata '
mina' atau '
mino' pada nama-nama seperti; '
Mina Makmur', '
Mina Lestari', '
Mina Sejahtera' atau juga '
Pandan Mino' maupun '
Argomino'
misalnya, menunjukkan identitas atau ciri bagi suatu kegiatan usaha
yang bergerak di bidang perikanan terutama perikanan budidaya, baik yang
berskala kecil, menengah maupun besar (industri). Sedangkan kata 'Kera'
yang dimaksud disini bukanlah merujuk pada satu jenis mamalia yang
merupakan kerabat terdekat manusia melainkan hanyalah merupakan
singkatan dari kata
kebun dan
rakyat. Makna kata
kebun
sendiri tidak harus selalu diartikan sebagai lahan luas tempat
memelihara berbagai jenis tanaman seperti yang sering ditemui di wilayah
pedesaan, namun pekarangan (halaman) di sekitar rumah pun termasuk
dalam pengertian kata kebun ini walau dengan areal lahan yang lebih
sempit. Secara umum
Mina Kera dapat diartikan sebagai kegiatan
memelihara ikan di kebun atau di halaman sekitar rumah yang dapat
dilaksanakan oleh warga masyarakat secara swadaya baik perorangan maupun
berkelompok.
KONSEP MINA KERA
Sesuai
dengan namanya Mina Kebun Rakyat terlahir sebagai suatu konsep
pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan dengan mengoptimalkan potensi
lahan sekitar menjadi lebih produktif melalui usaha budidaya perikanan
dalam skala
mikro (rumah tangga) yang mampu dilaksanakan secara
swadaya (mandiri) oleh warga masyarakat sehingga dapat memberi
kontribusi nyata bagi peningkatan pendapatan
(income) keluarga yang pada akhirnya berdampak positip terhadap peningkatan kesejahteraan warga. Melalui konsep
Mina Kera,
masyarakat diajak berperan aktif dalam meningkatkan produktifitas lahan
sekitar melalui budidaya perikanan dengan menerapkan pola budidaya yang
berkelanjutan dan teknologi tepat guna dengan tetap mengedepankan
faktor keseimbangan dan kelestarian lingkungan sekitar.
Istilah
Mina Kera digulirkan pertama kali di
pokdakan Argomino, Dusun
Dengok, Desa
Tanjungharjo,
Kec. Nanggulan,
Kab. Kulon Progo,
Propinsi DIY beberapa waktu lalu saat mendapat kunjungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (dahulu Departemen Kelautan dan Perikanan,
red), Dinas Kelautan & Perikanan Propinsi DIY serta Dinas-dinas terkait di jajaran Pemda
Kabupaten Kulon Progo. Kunjungan para pejabat pemerintahan di Pusat dan Daerah ini terkait dengan keberhasilan
pokdakan Argomino
beberapa tahun terakhir ini dalam mengembangkan budidaya perikanan pada
areal perkebunan rakyat yang berada di kawasan perbukitan kering dengan
ketersediaan air baku yang sangat terbatas.
UPAYA MEWUJUDKAN KONSEP MINA KERA
Awalnya memang tidak mudah
mengajak warga setempat untuk turut berperan aktif mengembangkan usaha
budidaya perikanan di atas lahan perbukitan yang tergolong tandus ini.
Upaya sosialisasi yang semula dilakukan oleh pokdakan Argomino dibawah pimpinan Bpk. Suhardi (yang lebih akrab disapa 'Pak Hardi')
ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Keengganan sebagian
besar warga masyarakat saat itu lebih didasarkan pada keraguan akan
keberhasilan usaha budidaya ini mengingat faktor alam sekitar yang
dinilai kurang mendukung. Hal ini memang cukup beralasan mengingat
pemahaman anggota masyarakat pada umumnya adalah bahwa usaha perikanan
hanya mungkin dikembangkan pada daerah-daerah dimana ketersediaan air
baku yang memenuhi persyaratan budidaya perikanan relatif mudah
diperoleh dan tersedia dalam jumlah yang mencukupi sepanjang tahun.
Sebagian besar kawasan perbukitan di wilayah
Kecamatan Nanggulan
memang tergolong lahan tandus yang kurang produktif. Selain karena
kondisi tanahnya yang banyak mengandung kapur, ketersediaan air yang
sangat diperlukan dalam kegiatan bercocok tanam boleh dibilang sangat
terbatas. Para petani hanya mengandalkan tampungan air hujan yang tak
seberapa untuk merawat tanaman di ladang mereka. Dalam berkebun pun
warga setempat pada umumnya cenderung memilih jenis tanaman buah atau
tanaman pangan lainnya yang tidak banyak membutuhkan air dalam
pemeliharaannya. Kurangnya sumber air tampaknya menjadi faktor utama
penyebab rendahnya produktifitas tanaman perkebunan setempat. Upaya
budidaya tanaman buah yang bernilai ekonomi tinggi pun tak dapat
berkembang karena sulitnya mendapatkan sumber-sumber air permukaan
maupun air tanah yang sangat diperlukan dalam pemeliharaan tanaman. Tak
heran jika pemandangan yang lazim terlihat di kawasan ini beberapa tahun
lalu hanyalah berupa kampung-kampung warga yang tersebar diantara
hamparan ladang dan kebun-kebun penduduk di sekitar lereng-lereng
perbukitan yang kering dan tandus.
Seperti halnya di desa-desa lain disekitarnya, di desa
Tanjungharjo
ini pun jarang sekali ditemui adanya sumur, baik sumur tradisional
maupun sumur bor. Hal ini disebabkan tidak semua tempat di kawasan
perbukitan ini memiliki cadangan air bawah tanah dalam jumlah yang
memadai. Pada beberapa lokasi yang memungkinkan untuk dibuat sumur pun
sering didapati muka air tanahnya terletak jauh di kedalaman lebih dari
25 meter.
Walau di musim penghujan sekalipun, volume air tanah yang bisa
dimanfaatkan tetaplah terbatas. Terlebih lagi disaat musim kemarau,
sumur pun menjadi kering dan praktis tak dapat digunakan. Untuk memenuhi
kebutuhan air bersih sehari-hari, sebagian besar warga lebih
mengandalkan tempat-tempat penampungan air hujan, baik yang dibangun
secara swadaya maupun yang telah dibangun oleh Pemerintah Daerah
setempat pada beberapa titik lokasi di sekitar perkampungan penduduk.
Jika hanya dilihat dari aspek
geografi dan
topografi semata, maka wajar bila kawasan perbukitan
Nanggulan
yang kering ini dapat dikatakan jauh dari kondisi ideal untuk
pengembangan usaha budidaya perikanan. Namun kondisi alam yang demikian
ternyata tidak menyurutkan tekad dan semangat rekan-rekan yang tergabung
dalam
pokdakan Argomino
dalam upaya mengembangkan potensi lahan yang kurang subur menjadi lahan
yang lebih produktif melalui budidaya perikanan. Bermula dari beberapa
kolam ikan yang dibuat dengan menggunakan bahan terpal, kini lebih dari
300-an
kolam sejenis telah berhasil dikembangkan. Hampir di setiap kebun
penduduk terdapat kolam-kolam terpal dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Rata-rata setiap keluarga memiliki 2 sampai 3 kolam ikan sesuai dengan
kemampuan pengelolaan dan luas lahan (kebun) yang dimiliki. Umumnya
kolam-kolam terpal ini digunakan untuk pembibitan ikan gurame sementara
sebagian warga lainnya lebih memilih usaha pembesaran ikan gurame hingga
mencapai ukuran konsumsi.
PERKEMBANGAN KOLAM TERPAL
Antusias
masyarakat dalam kegiatan budidaya perikanan tampak semakin meningkat
beberapa tahun terakhir ini. Pemanfaatan bahan terpal sebagai media
pemeliharaan (kolam) ikan terbukti dapat menjadi solusi yang tepat bagi
warga masyarakat yang berada pada daerah-daerah yang memiliki akses
terbatas terhadap ketersediaan air baku, baik yang berasal dari aliran
air irigasi, air permukaan (danau, sungai atau kali), air sumur ataupun
sumber-sumber air lainnya. Saat ini kegiatan memelihara ikan di kolam
terpal telah menjadi pemandangan yang lazim ditemui di berbagai tempat
di wilayah
Kab. Kulon Progo
dan sekitarnya. Tidak saja di areal persawahan tetapi juga di wilayah
pesisir pantai, kawasan perbukitan, kebun-kebun warga hingga pekarangan
(halaman) di sekitar rumah penduduk.
Walau pada awalnya konsep
Mina Kera
lebih diperuntukkan bagi warga masyarakat pedesaan yang berada di
wilayah perbukitan dimana ketersediaan air baku, baik yang berasal dari
sistem pengairan teknis maupun sumber-sumber alami lainnya sangat
terbatas, namun dalam kenyataannya konsep
Mina Kera dapat pula
diterapkan pada kawasan pesisir dan wilayah dataran rendah lainnya
seperti pada lahan-lahan marginal dan kawasan pinggiran kota. Dengan
memanfaatkan bahan terpal
(tarpaulin) sebagai media pemeliharaan
ikan, warga masyarakat yang memiliki lahan terbatas pun kini dapat turut
serta mengembangkan budidaya perikanan, baik sebagai kegiatan pokok
maupun usaha sampingan dalam upaya mendapatkan
penghasilan
(income) tambahan bagi peningkatan kesejahteraan keluarga.