Mahasiswa Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar refleksi 14 tahun
tragedi Simpang KKA, Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara, di Bundaran
Simpang Lima, Banda Aceh. Mereka mendesak pemerintah menetapkan aktor
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dibalik aksi penembakan massal itu.
Aksi
dilakukan BEM Fakultas Hukum dengan memegang lilin dan mengusung
spanduk bertulis 14 tahun Tragedi Simpang KKA. Aksi itu berjalan tertib
meski tanpa dikawal polisi. Mereka berorasi dan membaca puisi tanpa
menggunakan pengeras suara.
Ketua BEM Fakultas Hukum Unsyiah, Maulana, mengatakan, melalui aksi itu mereka berharap pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), agar negara mengakui pelaku dan korban pelanggaran HAM di Aceh, khususnya selama konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka.
"Kami
mendesak segera terbentuknya KKR di Aceh. Selama ini masih kabur siapa
sebenarnya pelaku-pelaku pelanggaran HAM di Aceh itu, siapa saja
korban-korbannya," kata Maulana, Jumat 3 Mei.
Menurutnya, KKR
dinilai penting untuk memberi keadilan kepada para korban. Aceh dinilai
punyak kewenangan membentuk Qanun KKR meski KKR nasional sudah
dibubarkan, karena telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang juga mengamanahkan KKR.
Mereka
menyayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang belum mampu
mewujudkan Qanun KKR, padahal parlemen dan eksekutif Aceh sekarang
didominasi oleh mantan GAM yang mengaku berjuang untuk mengangkat harkat
martabat rakyat Aceh.
Menurutnya, refleksi ini tak bermaksud
untuk mengungkit luka lama, namun pihaknya berupaya agar masyarakat tak
melupakan tragedi yang menewaskan banyak orang.
Sekadar
diketahui, tragedi Simpang KKA terjadi pada Senin 3 Mei 1999. Koalisi
NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami
luka tembak dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban
tewas adalah anak-anak.
Tragedi itu bermula dari penyisiran
aparat TNI ke desa-desa yang membuat warga ketakutan. Penyisiran
dilakukan karena ada laporan seorang anggota dari Kesatuan Den Rudal
001/Pulo Rungkom hilang. Dalam penyisiran itu aparat menganiaya beberapa
warga sipil.
Warga dari beberapa desa selanjutnya berkumpul di
Krueng Geukueh untuk memprotes aksi TNI. Aksi ini kemudian memanas,
aparat TNI yang ikut mengawal massa melepaskan tembakan secara membabi
buta ke arah kerumunan hingga korban berjatuhan.
Setelah aksi
tersebut konflik Aceh terus memanas hingga tsunami melanda pada 26
Desember 2004 yang mengetuk hati kedua pihak bertikai untuk
menandatangani MoU damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
0 comments:
Post a Comment
silahkan memberi komentar terhadap artikel diatas