Konsep Pendidikan
Konsep Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Kehidupan
suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan.
Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari
generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan
mengembangkan pengetahuan.
Pendidikan
bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus
dapat meramalkan berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan
datang, dan sekaligus menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat
dikuasai oleh anak didik.
Pendidikan
merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu
meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat
bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga
negara/masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi kegiatan, dan
teknik penilaian yang sesuai. Dilihat dari sudut perkembangan yang
dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut
ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan melaksanakan
tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam setiap periode
perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan
yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.
Branata
(1988) mengungkapkan bahwa Pendidikan ialah usaha yang sengaja
diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu
anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendapat diatas seajalan
dengan pendapat Purwanto (1987 :11) yang menyatakan bahwa Pendidikan
adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada
anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi
diri sendiri dan bagi masyarakat.
Kleis (1974) memberikan batasan umum bahwa :
”pendidikan
adalah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok
orang dapat memahami seseuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami.
Pengalaman itu terjadi karena ada interaksi antara seseorang atau
kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses
perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu
menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau
kelompok dalam lingkungannya”.
Proses
belajar akan menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif (penalaran,
penafsiran, pemahaman, dan penerapan informasi), peningkatan kompetensi
(keterampilan intelektual dan sosial), serta pemilihan dan penerimaan
secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan dan perasaan, serta
kemauan untuk berbuat atau merespon sesuatu rangsangan (stimuli).
Orang
yakin dan percaya untuk menanggulangi kemiskinan, cara utama adalah
dengan memperbesar jumlah penduduk yang bersekolah dan terdidik dengan
baik. Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai jalan menuju
kemakmuran.
Manusia
dilahirkan dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Dia sangat
membutuhkan bantuan yang penuh perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya, terutama ibunya, supaya dia dapat hidup terus dengan sempurna,
jasmani dan rohani. Orang tualah yang pertama dan utama bertanggung
jawab terhadap pendidikan anaknya. Dalam ilmu jiwa dikenal dengan
istilah pertumbuhan dan perkembangan, yaitu supaya anak sempurna dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Pertumbuhan
ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada jasmani; bertambah besar
dan tinggi. Perkembangan lebih luas dari pertunbuhan ialah
perubahan-perubahan yang terjadi pada rohani dan jasmaniah. Dengan kata
lain, perkembangan merupakan suatu rentetan perubahan yang sifatnya
menyeluruh dalam interaksi anak dan lingkungannya.
Oleh karena itu Idris (1982:10) mengemukakan bahwa :
”Pendidikan
adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia
dewasa dengan si anak didik yang secara tatap muka atau dengan
menggunakan media dalam rangka memebrikan bantuan terhadap perkembangan
anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
Potensi disini ialah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral,
pengetahuan, dan keterampilan.”
2. Tujuan Pendidikan
Telah
kita ketahui bersama bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan
tergantung kepada jelas tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh orang
atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan pada pernyataan ini, maka
perlunya suatu tujuan dirumuskan sejelas-jelasnya dan barulah kemudian
menyusun suatu program kegiatan yang objektif sehingga segala energi dan
kemungkinan biaya yang berlimpah tidak akan terbuang sia-sia.
Apabila
kita mau berbicara tentang pendidikan umumnya, maka kita harus
menyadari bahwa segala proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat
menyediakan atau menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan
bangsa, negara, dan tanah air. Apabila negara, bangsa dan tanah air kita
membutuhkan tenaga-tenaga terdidik dalam berbagai macam bidang
pembangunan, maka segenap proses pedidikan termasuk pula sistem
pendidikannya harus ditujukan atau diarahkan pada kepentingan
pembangunan masa sekarang dan masa-masa selanjutnya.
GBHN tahun 1999 mencantumkan tentang tujuan pendidikan nasional :
”Pendidikan
nasional bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”
Selanjutnya
tujuan pendidikan nasional tercantum dalan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang menyatakan:
”Pendidikan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”
Pernyataan-pernyataan
diatas tampak jelas bahwa pendidikan harus mampu membentuk atau
menciptakan tenaga-tenaga yang dapat mengikuti dan melibatkan diri dalam
proses perkembangan, karena pembangunan merupakan proses perkembangan,
yaitu suatu proses perubahan yang meningkat dan dinamis. Ini berarti
bahwa membangun hanya dapat dilaksanakan oleh manusia-manusia yang
berjiwa pembangunan, yaitu manusia yang dapat menunjang pembangunan
bangsa dalam arti luas, baik material, spriritual serta sosial budaya.
Sejarah
pendidikan kita dapat menerapkan perkembangan pendidikan dan
usaha-usaha perwujudannya sebagai suatu cita-cita bangsa dan negara,
masyarakat atau masa dan memberikan ciri khas pelaksanaan pendidikannya.
Setiap
tindakan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses menuju kepada
tujuan tertentu. Tujuan ini telah ditentukan oleh mssyarakat pada waktu
dan tempat tertentu dengan latar belakang berbagai macam faktor seperti
sejarah, tradisi, kebiasaan, sistem sosial, sistem ekonomi, politik dan
kemauan bangsa.
Berdasarkan
faktor-faktor ini UNESCO telah memberikan suatu deskripsi tentang
tujuan pendidikan pada umumnya dan untuk Indonesia sendiri tujuan itu
telah ditetapkan dalam ketetapan MPR.
Pertama,
UNESCO menggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai ”menuju Humanisme
Ilmiah”. Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka humanisme ilmiah menolak ide
tentang manusia yang bersifat subjektif dan abstrak semata. Manusia
harus dipandang sebagai mahluk konkrit yang hidup dalam ruang dan waktu
dan harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat yang tidak
boleh diobjekkan. Dalam kerangka ini maka tujuan sistem pendidikan
adalah latihan dalam ilmu dan latihan dalam semangat ilmu.
Kedua,
pendidikan harus mengarah kepada kreativitas. Artinya, pendidikan harus
membuat orang menjadi kreatif. Pada dasarnya setiap individu memiliki
potensi kreativitas dan potesi inilah yang ingin dijadikan aktual oleh
pendidikan. Semangat kreatif, non konformist dan ingin tahu, menonjol
dalam diri manusia muda. Mereka umumnya bersikap kritis terhadap
nilai-nilai yang ada dan jika mereka menemukan bahwa nilai-nilai itu
sudah ketinggalan jaman, maka mereka ingin merombaknya. Disini
pendidikan berfungsi ganda, menyuburkan kreativitas, atau sebaliknya
mematikan kreativitas.
Ketiga,
tujuan pendidikan harus berorientasi kepada keterlibatan sosial.
Pendidikan harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dengan
amsyarakat secara bertanggung jawab. Dia tidak hanya hidup dan
menyesuaikan diri dengan struktur-struktur sosial itu. Disini seorang
individu merealisir dimensi-dimensi sosialnya lewat proses belajar
berpartisipasi secara aktif lewat keterlibatan secara meyeluruh dalam
lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini, suatu
misi pendidikan ialah menolong manusia muda melihat orang lain bukan
sebagai abstriaksi-abstraksi, melainkan sebagai mahluk konkrit dengan
segala dimensi kehidupannya.
Keempat,
tekanan terakhir yang digariskan UNESCO sebagai tujuan pendidikan
adalah pembentukan manusia sempurna. Pendidikan bertugas untuk
mengembangkan potensi-potensi individu semaksimal mungkin dalam
batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai,
terampil, jujur, yang tahu kadar kemampuannya, dan batas-batasnya, serta
kerhormatan diri. Pembentukan manusia sempurna ini akan tercapai
apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang harmonis dan
integral antara dimensi-dimensi manusiawi seperti dimensi fisik,
intelektual, emosional, dan etis. Proses ini berlangsung seumur hidup.
Jadi konkritnya pada pokoknya pendidikan itu adalah humansisasi, karena
itu mendidik berarti ”memanusiakan manusia muda dengan cara memimpin
pertumbuhannya sampai dapat berdikari, bersikap sendiri, bertanggung
jawab dan berbuat sendiri”. (Ibid, 1980)
3. Jalur Pendidikan
Tuntutan
masyarakat akan kebutuhan pendidikan membuat pendidikan terus
berkembang sejalan dengan pembangunan ansioanl. Pendidikan menjadi kunci
kemajuan dan keberhasilan dari suatu pembangunan sebuah negara. Agar
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan maka di dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional No.20 tahun 2003 terdapat jalur
pendidikan yang didalamnya terdapat pendidikan formal, non formal, dan
informal. Pendidikan formal disebut pula sistem pendidikan sekolah.
Pendidikan nonformal dan informal disebut pula sistem pendidikan luar
sekolah.
Untuk
lebih membedakan ketiga jenis satuan pendidikan diatas maka harus ada
kriteria yang lebih umum untuk dapat membedakan ketiganya. Oleh karena
itu Coombs (1973) membedakan pengertian pendidikan sebagai berikut
”Pendidikan
formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat,
berjenjang, dimulai dengan sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi
dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi
yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan
profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus”.
Walaupun
masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar,
namun kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat dan saat yang sangat
strategis bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina seseorang dalam
menghadapi masa depannya.
”Pendidikan
informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga asetiap
orang memperoleh nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan
termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan
tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan
media masa”
Walaupun
demikian, pengaruhnya sangatlah besar dalam kehidupan seseorang, karena
dalam kebanyakan masyarakat pendidikan informal berperan penting
melalui keluarga, masyarakat, dan pengusaha. Pendidikan dalam keluarga
adalah yang pertama dan utama bagi setiap manusia. Seseorang kebanyakan
berada dalam rumah tangga dibandingkan dengan tempat-tempat
lainnya. Sampai umur tiga tahun seseorang akan selalu berada di rumah
tangga. Pada masa itulah diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang,
psikiater, kalau menemui suatu penyimpangan dalam kehidupan seseorang,
akan mencari sebab-sebabnya pada masa kanak-kanak orang itu. Coombs
dalam Sudjana (2001:22) :
”Pendidikan
nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis diluar
sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan
bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan
untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya”.
Bagi
masyarakat Indonesia, yang masih banyak dipengaruhi proses belajar
tradisional, pendidikan nonformal akan merupakan cara yang mudah sesuai
dengan daya tangkap rakyat, dan mendorong rakyat menjadi belajar, sebab
pemberian pendidikan tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan
lingkungan dan kebutuhan para peserta didik.
Ketiga
pengertian diatas dapat digunakan untuk membedakan karakteristik dari
setiap jalur pendidikan. Namun, Axinn (1974) membuat penggolongan
program-program kegiatan termasuk ke dalam pendidikan formal, nonformal
dan informal dengan menggunakan kriteria ada atau tidak adanya
kesengajaan dari kedua belah pihak yang berkomunikasi, yaitu pihak
pendidika (sumber belajar atau fasilitator) dan pihak peserta didik
(siswa atau warga belajar).
Kegiatan yang ditandai adanya kesengajaan dari kedua belah pihak yaitu pihak pendidik yang
sengaja membelajarkan peserta didik, dan peserta didik yang senagja
untuk belajar sesuatu dengan bimbingan, pembelajaran dan pelatihan dari
pendidik, maka kegiatan tersebut digolongkan kedalam pendidikan formal
atau penddiikan informal. Apabila kesengajaan itu hanya timbul dari
pihak pendidik untuk membantu peserta didik guna memperoleh pengalaman,
sedangkan pihak peserta didik tidak sengaja untuk belajar sesuatu dengan
bantuan pendidik, maka kegiatan ini termasuk ke dalam pendidikan
informal. Demikian pula apabila hanya pihak peserta didik yang
bersengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan seorang pendidik
sedangkan pihak pendidik tidak sengaja untuk membantu peserta didik
tersebut, maka kegiatan ini tergolong pula ke dalam pendidikan informal.
Namun apabila suatu peristiwa belajar terjadi tanpa kesengajaan dari
pihak pendidik dan pihak peserta didik maka kegiatan ini digolongkan
pada pembelajaran secara kebetulan.